Rabu, 29 Mei 2013

010. Hukum Uang Pilkada

السلام عليكم ورحمة الله و بركاته





السلام عليكم ورحمة الله و بركاته


Pemilihan umum (PEMILU) atau pemilihan kepala daerah (PILKADA) secara langsung adalah ajang persemaian demokratisasi ditingkatan nasional maupun lokal. Dengan harapan akan terpilihnya pemimpin ditingkat nasional maupun lokal yang amanah, jujur, dan peduli kepada kemashlahatan umat. Tentu kesemuanya bermuara dari harapan akan kesejahteraan rakyat. Namun pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah secara langsung menyimpan celah yang bisa berubah menjadi suatu ironi, celah tersebut berupa politik uang (Money politic).

Secara bahasa money politic atau politik uang terdapat dua dimensi kata, yakni politik dan uang. Politik diidentikan pada pengertian tentang suatu orientasi pada kekuasaan dan uang dipersepsikan sebagai salah satu kekuatan yang berbasis material. Artinya politik uang merupakan manifestasi dari orientasi seseorang atau kelompok dalam menacapai tujuan politik dengan menjadikan uang (materi) sebagai perantara (kekuatan) untuk mencapai tujuan tersebut. Dengan kata lain proses penentuan pemenang dalam percaturan politik tidak berdasarkan pada pilihan yang objektif dan rasional namun dengan pertimbangan- pertimbangan yang pragmatis.

Money politic dalam pemilu atau pilkada secara umum didefinisikan sebagai bentuk pemberian atau perjanjian seseorang kepada orang lain atau calon pemilih baik supaya calon pemilih itu tidak menjalankan haknya untuk memilih atau supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu pada saat pemilihan umum. Secara sederhana praktek money politic dalam pemilu atau pilkada biasanya berupa pemberian uang dan materi lainnya kepada calon pemilih dengan harapan pemilih tersebut memberikan dukungan atau memilih calon atau pihak yang memberikan uang. Dalam hal ini politik uang dianggap sebagai pelanggaran karena memberikan uang sebagai upaya untuk mempengaruhi objektifitas pilihan politik pemilih.

Dalam konteks UU No 10 tahun 2008 tentang pemilu misalnya, disebutkan bahwa Pelaksana, peserta, dan petugas kampanye dilarang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye.(Pasal 84 ayat 1 huruf J). Dalam UU 32 tahun 2004 tentang pilkada juga mengatur larangan politik uang, misalnya di pasal 117 ayat 2; Setiap orang yang dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih Pasangan calon tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya menjadi tidak sah, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

Kita sebagai umat islam tentunya juga punya harapan besar dalam proses demokrasi ini, penentuan kekuasaan didasarkan pada keyakinan bahwa kekuasaan adalah amanah, pemimpin adalah khadim (pelayan) bagi yang dipimpinnya, dan kepemimpinan pada dasarnya tidak diminta, dan tidak diberikan kepada orang yang ambisius. Masyarakat hendaklah memilih pemimpin berdasarkan kriteria amanah dan bukan karena pengaruh materi, sedangkan money politic akan mengarahkan masyarakat untuk bersikap pragmatis. Namun yang terjadi sering kali berlawanan dengan harapan kita dan bertentangan dengan prinsip demokrasi itu sendiri, terlebih lagi bertentangan dengan syari’at Islam.

PANDANGAN FIQH TENTANG MONEY POLITIC DALAM PILKADA

Untuk menanggapi fenomena money politic yang terjadi hampir pada setiap pemilu atau pilkada, bahkan sampai pada tingkat pemilihan kepala desa dari sudut pandang fiqh, terlebih dulu kita membatasi pembahasan ini pada pengertian bahwa money politic yang dimaksud adalah memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih Pasangan calon tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu. Dari pengertian tersebut terdapat dua unsur; pertama, ada maksud dan tujuan untuk mempengaruhi aspirasi dan pandangan seseorang. kedua, tindakan pemberian uang atau barang tertentu dalam mencapai maksud dan tujuan tersebut. Secara umum tindakan seseorang mempengaruhi objektifitas seseorang yang lain dengan menggunakan materi disebut tindakan suap. Suap dalam istilah Fiqh disebut “Risywah”.

Dengan mengaitkan pengertian money politic dan mengidentifikasikanya dengan Risywah, dan setelah kita mendevinisikan money politic pada batasan pengertian diatas, maka kemudian kita mendevinisikan Risywah dalam tinjaun Fiqh.
عون المعبود - (ج 8 / ص 80,79) 
قَالَ صَاحِبُ عَوْنِ الْمَعْبُودِ :قَالَ فِي الْقَامُوس : الرِّشْوَة مُثَلَّثَةً الْجُعْلُ جَمْعُ رُشًا وَرِشًا ، وَرَشَاهُ أَعْطَاهُ إِيَّاهَا وَارْتَشَى أَخَذَهَا  
قَالَ الْقَارِي : أَيْ مُعْطِي الرِّشْوَة وَآخِذُهَا ، وَهِيَ الْوَصْلَة إِلَى الْحَاجَة بِالْمُصَانَعَةِ . قِيلَ الرِّشْوَة مَا يُعْطَى لِإِبْطَالِ حَقّ أَوْ لِإِحْقَاقِ بَاطِل  

Dalam kitab ‘aunul ma’bud Risywah didevinisikan sebagai sesuatu yang diberikan guna membatalkan perkara yang haq dan membenarkan perkara yang bathil. Namun, lebih lanjut dalam kitab tersebut dijelaskan, adapun jika pemberian tersebut menjadi perantara untuk mempertahankan yang haq atau untuk mencegah dari perkara yang dholim maka tidak apa-apa. Namun ini tidak berlaku untuk para qodli (hakim) dan para pemimpin (wulat). Hal ini dikarenakan memutuskan perkara yang haq dan membatalkan perkara yang bathil merupakan kewajiban bagi mereka. Maka tidak diperkenankan menerima pemberian tersebut.

الإقناع - (ج 2 / ص 267) 
الرشوة حرام، وهي ما يبذل للقاضي ليحكم بغير الحق أو ليمتنع من الحكم بالحق وذلك لخبر: لعن الله الراشي والمرتشي في الحكم. 

Dalam kitab al-‘Iqna’ disebutkan bahwa risywah adalah sesuatu yang diberikan kepada qodli supaya memutuskan perkara dengan tidak haq atau supaya mencegah dari keputusan yang haq. Dan hal tersebut haram dengan khobar;

لعن الله الراشي والمرتشي في الحكم.

Dalam kajian Fiqh, risywah banyak dibahas dalam permasalahan qodli.

روضة الطالبين وعمدة المفتين - (ج 4 / ص 131)
روضة الطالبين وعمدة المفتين - (ج 4 / ص 131)
فصل يحرم على القاضي الرشوة ثم إن كان له رزق في بيت المال لم يجز أخذ عوض من الخصوم فإن لم يكن فقال الشيخ أبو حامد لو قال للخصمين لا أقضي بينكما حتى تجعلا لي رزقاً جاز ومثله عن القاضي أبي الطيب وغيره وهذا نحو ما نقل الهروي أن القاضي إذا لم يكن له رزق من بيت المال وهو محتاج ولم يتعين عليه القضاء فله أن يأخذ من الخصم أجرة مثل عمله وإن تعين قال أصحابنا لا يجوز الأخذ وجوزه صاحب التقريب وأما باذل الرشوة فإن بذلها ليحكم له بغير الحق أو بترك الحكم بحق حرم عليه البذل وإن كان ليصل إلى حقه فلا يحرم كفداء الأسير.

عون المعبود - (ج 8 / ص 80)
قَالَ الْقَارِي : أَيْ مُعْطِي الرِّشْوَة وَآخِذُهَا ، وَهِيَ الْوَصْلَة إِلَى الْحَاجَة بِالْمُصَانَعَةِ . قِيلَ الرِّشْوَة مَا يُعْطَى لِإِبْطَالِ حَقّ أَوْ لِإِحْقَاقِ بَاطِل ، أَمَّا إِذَا أُعْطِيَ لِيُتَوَصَّل بِهِ إِلَى حَقّ أَوْ لِيَدْفَع بِهِ عَنْ نَفْسه ظُلْمًا فَلَا بَأْس بِهِ ، وَكَذَا الْآخِذ إِذَا أَخَذَ لِيَسْعَى فِي إِصَابَة صَاحِب الْحَقّ فَلَا بَأْس بِهِ ، لَكِنْ هَذَا يَنْبَغِي أَنْ يَكُون فِي غَيْر الْقُضَاة وَالْوُلَاة ، لِأَنَّ السَّعْي فِي إِصَابَة الْحَقّ إِلَى مُسْتَحِقّه وَدَفْع الظَّالِم عَنْ الْمَظْلُوم وَاجِب عَلَيْهِمْ فَلَا يَجُوز لَهُمْ الْأَخْذ عَلَيْهِ

روضة الطالبين وعمدة المفتين - (ج 4 / ص 132)
فرع قد ذكرنا أن الرشوة حرام مطلقاً الى ان قال .... ذكره ابن كج أن الرشوة هي التي يشرط على قابلها الحكم بغير الحق أو الامتناع عن الحكم بحق

إعانة الطالبين - (ج 4 / ص 266)
قال في المغني: قبول الرشوة حرام، وهو ما يبذل له ليحكم بغير الحق، أو ليمتنع من الحكم بالحق، وذلك لخبر: لعن الله الراشي والمرتشي في الحكم رواه ابن حبان وغيره وصححوه.

المجموع - (ج 20 / ص 150)
واتفقوا على أن للقاضى أن يحكم في منزله، واتفقوا على أنه فرض عليه أن يحكم بالعدل والحق، اتفقوا على تحريم الرشوة على قضاء بحق أو باطل أو تعجيلا لقضاء بحق أو باطل

Dari uraian ta’bir diatas diketahui bahwa haram bagi seorang qodli (hakim) menerima risywah untuk melakukan kebathilan karena menjatuhkan hukuman atau keputusan secara tidak sah, dan hal ini secara qath’i haram. Di haramkan juga bagi seorang qodli menerima Risywah walau untuk tujuan yang haq, karena memutuskan perkara yang haq dan membatalkan perkara yang batil merupakan kewajiban bagi mereka. Maka tidak diperkenankan menerima pemberian tersebut sebagai ganti dari pemberian keputusan.

Namun, permasalahannya sekarang adalah, apakah bisa mengambil konskwensi hukum yang sama dari fenomena risywah dalam qodli pada fenomena money politic dalam pilkada? Apakah sebenarnya yang menjadi subtansi persoalan risywah?

Secara sederhana, esensi dari hukum risywah itu sendiri sudah tertuang secara eksplisit dalam ta’rifnya dalam kitab ‘aunul ma’bud dan al-Iqna’, yaitu: Tindakan seseorang atau kelompok memberikan uang atau jasa dengan tujuan mempengaruhi pandangan dan objektifitas seseorang dalam mengambil. Dari sini kemudian diambil kesimpulan bahwa subtansi seorang qodli dalam peradilan adalah mengambil kebijakan (pemutus perkara) dengan objektif (haq) dan adil, fungsi ini setara dengan fungsi rakyat sebagai pemilih dalam pemilu atau pilkada yang juga harus menjaga objektifitasnya. Seperti halnya qodli, menjadi kewajiban bagi rakyat untuk memutuskan perkara yang haq dan membatalkan perkara yang batil, dengan menentukan pilihan politik (memilih pemimpin) dengan objektif.

Dari pemahaman semacam ini kemudian mengandung suatu sintesa, bahwa setiap pihak yang terlibat dalam hal-hal yang haram maka hukumnya adalah sama, yaitu haram. Antara sebab dan akibat laksana mata rantai yang saling terkait satu sama lain, konsekwensi hukumnya saling kait-mengait pula. Sehingga dapat dipahami hukum haram yang terdapat dalam penerimaan juga berlaku pada pemberinya, dan sebaliknya. Keharaman suap dilatarbelakangi oleh tindakan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi objektifitas dan pandangan seseorang dalam mengambil keputusan dan berbuat batil serta menzalimi pihak lain. Landasan yuridisnya adalah hadist:

أنوار البروق في أنواع الفروق - (ج 1 / ص 498)
تحفة الأحوذي - (ج 3 / ص 457)
قَوْلُهُ : ( لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ فِي الْحُكْمِ )
زَادَ فِي حَدِيثِ ثَوْبَانَ وَالرَّائِشَ يَعْنِي الَّذِي يَمْشِي بَيْنَهُمَا . رَوَاهُ أَحْمَدُ قَالَ اِبْنُ الْأَثِيرِ فِي النِّهَايَةِ الرِّشْوَةُ وَالرُّشْوَةُ الْوَصْلَةُ إِلَى الْحَاجَةِ بِالْمُصَانَعَةِ وَأَصْلُهُ مِنْ الرِّشَا الَّذِي يُتَوَصَّلُ بِهِ إِلَى الْمَاءِ فَالرَّاشِي مِنْ يُعْطِي الَّذِي يُعِينُهُ عَلَى الْبَاطِلِ . وَالْمُرْتَشِي الْآخِذُ وَالرَّائِشُ الَّذِي يَسْعَى بَيْنَهُمَا يَسْتَزِيدُ لِهَذَا أَوْ يَسْتَنْقِصُ لِهَذَا . فَأَمَّا مَا يُعْطَى تَوَصُّلًا إِلَى أَخْذِ حَقٍّ أَوْ دَفْعِ ظُلْمٍ فَغَيْرُ دَاخِلٍ فِيهِ .
قواعد الأحكام في مصالح الأنام - (ج 1 / ص 32)
كُلُّ ذَنْبٍ قُرِنَ بِهِ وَعِيدٌ أَوْ حَدٌّ أَوْ لَعْنٌ فَهُوَ مِنْ الْكَبَائِرِ .فَتَغْيِيرُ مَنَارِ الْأَرْضِ كَبِيرَةٌ لِاقْتِرَانِ اللَّعْنِ بِهِ .وَكَذَلِكَ قَتْلُ الْمُؤْمِنِ كَبِيرَةٌ لِأَنَّهُ اقْتَرَنَ بِهِ الْوَعِيدُ وَاللَّعْنُ وَالْحَدُّ ، وَالْمُحَارَبَةُ وَالزِّنَا وَالسَّرِقَةُ وَالْقَذْفُ كَبَائِرُ لِاقْتِرَانِ الْحُدُودِ بِهَا ، وَعَلَى هَذَا كُلُّ ذَنْبٍ عُلِمَ أَنَّ مَفْسَدَتَهُ كَمَفْسَدَةِ مَا قُرِنَ بِهِ الْوَعِيدُ أَوْ اللَّعْنُ أَوْ الْحَدُّ أَوْ أَكْبَرُ مِنْ مَفْسَدَتِهِ فَهُوَ كَبِيرَةٌ .
أنوار البروق في أنواع الفروق - (ج 1 / ص 498)
وَمِنْ الثَّالِثِ قَوْلُ شَيْخِ الْإِسْلَامِ الْبَارِزِيِّ وَالتَّحْقِيقُ أَنَّ الْكَبِيرَةَ كُلُّ ذَنْبٍ قُرِنَ بِهِ وَعِيدٌ أَوْ حَدٌّ أَوْ لَعْنٌ بِنَصِّ كِتَابٍ أَوْ سُنَّةٍ أَوْ عُلِمَ أَنَّ مَفْسَدَتَهُ كَمَفْسَدَةِ مَا قُرِنَ بِهِ وَعِيدٌ أَوْ حَدٌّ أَوْ لَعْنٌ أَوْ أَكْثَرُ مِنْ مَفْسَدَتِهِ أَوْ أَشْعَرَ بِتَهَاوُنِ مُرْتَكِبِهِ فِي دِينِهِ إشْعَارَ أَصْغَرِ الْكَبَائِرِ الْمَنْصُوصِ عَلَيْهَا 

Segala bentuk kegiatan yang mengandung kemungkaran tapi menguntungkan, seperti yang terjadi pada pemberian uang yang terjadi ada pilkada, akan berimbas pada keharaman materi yang dihasilkan darinya. Menerima materi semacam ini, sama saja mendapatkan keuntungan dari jalan yang haram.


والسلام عليكم ورحمة الله و بركاته

0 komentar:

Posting Komentar

Design by Abdul Munir Visit Original Post Islamic2 Template